Kamis, 15 November 2012

Makalah SMI


Tugas Kelompok

Struktur Masyarakat Indonesia dan Integrasi Nasional
OLEH:
Kelompok III
NAMA:
1.      Liska Dewiana Nasution                                   3103311032
2.      Meri Priska Sembiring                                        3103311036
3.      Rince Situmorang                                                            3103311048
4.      Pimasita Andriana Simangunsong                    3103311044
5.      Darlon Situmorang                                             3103311010
6.      Andi Pranata Bangun                                        3103311001
KELAS                                                          : B Ekstensi 2010
MATA KULIAH                                         : Studi Masyarakat Indonesia
JURUSAN                                                    : PP-Kn
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Studi Masyarakat Indonesia ini dengan baik.
Makalah ini diharapkan mampu membantu penulis dalam memperdalam mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia dalam kegiatan belajar. Selain itu, makalah ini diharapkan agar dapat menjadi bacaan para pembaca agar menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab karena materi ini disajikan mengarah pada terbentuknya masyarakat Indonesia yang berbudaya berdasarkan Pancasila yang berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu,, makalah ini diharapkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap yang kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang selalu berubah.
Penulis berterima kasih kepada orang tua penulis yang memberikan motivasi baik berupa matreiil maupun moriil kepada penulis, tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu yaitu Ibu Sri Yunita dan kepada semua pihak yang sedikit banyaknya telah terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Penulis mengharapkan saran dan kritikan terhadap makalah ini yang bersifat membangun agar makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

                                                                                                Medan,     Maret 2012

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah. Keramahan bangsa tergantung dari bagaimna pola pikir masyarakat yang hidup di Indonesia.  kultur budaya, pola pikir dan struktur masyarakat membentuk keramahan bangsa Indonesia menjadi keramahan yang alami.
Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara majemuk, karena secara horizontal terdiri atas berbagai macam agama, suku bangsa dan bahasa. Sedangkan secara vertikal yaitu perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah (stratifikasi sosial).
Struktur sosial yang ada dalam sebuah tatanan bermasyarakat terdiri dari pengelompokan sosial, lapisan sosial, perubahan sosial serta pertentangan sosial. Pemahaman mengenai hal ini dapat membantu dalam memahami sebuah tatanan masyarakat, juga dalam usaha menyelesaikan problematika yang muncul dalam masyarakat itu.
B.     Rumusan Masalah
            Adapun yang menjadi perumusan masalah yang muncul dalam makalah kami ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pendekatan-pendekatan dalam struktur masyarakat Indonesia?
2.      Apakah tanda atau ciri-ciri struktur masyarakat Indonesia?
3.      Apa saja yang menjadi karakteristik yang selanjutnya sebagai sifat-sifat dasar suatu masyarakat majemuk?

C.    Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, memahami bagaimana pendekatan dalam struktur masyarakat Indonesia demikian ciri-cirinya serta karakteristik masyarakat majemuk dan mengimplementasi nilai-nilai, norma-norma yang ada dalam masyarakat.
BAB II
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN INTEGRASI NASIONAL

I.                   Pendekatan Teoritis
Sudut pendakatan yang perlu di perhatikan pertama kali adalah sebuah pendekatan yang menjadi amat berpengaruh di kalangan para ahli sosiologi. Ia memandang masyarakat sebagai system yang secaara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka dikatakan integration approach, equilibrium approach (pendekatan fungsional struktural).
Fungsionalisme struktural mula-mula tumbuh dari cara melihat masyarakat dengan organism biologis atau yang lebih kita kenal dengan sebutan organismic approach. Pendekatan fungsional structural sebagaimana yang telah di kembangkan oleh Person dan para ahli pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut:
1.      Masyarakat harus dilihat sebagai suatu system.
2.      Hubungan yang saling berhubungan bersifat ganda dan timbale balik.
3.      Secara fundamental system social selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis.
4.      Integrasi social pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai.
5.      Perubahan di dalam system social pada umumnya terjadi secara gradual.
6.      Ada tiga dasar perubahan social, yaitu:  Penyesuaian yang dilakukan oleh system social, pertumbuhan melalui proses difrensiasi structural dan fungsional dan penemuan baru oleh anggota masyarakat.
7.      Factor penting dalam mengintegrasi system social adalah kesepakatan diantara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai masyarakat tertentu.
Dengan cara lain dapat dikatakan bahwa suatub system social, tidak lain adalah merupakan suatu system berupa tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi social yang terjadi diantara berbagai individu. Prosesnya adalah sebagai berikut : oleh karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu. Maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa kedalam bentuk struktur social tertentu.
Anggapan bahwa setiap system social memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas. Mengakibatkan para penganut fungsioalisme structural mengangap bahwa penyimpangan-penyimpangan social meengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat. Anggapan semacam itu mengakibatkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1.      Setiap struktur social mengandung konflik-konflik.
2.      Reaksi terhadap suaatu system social terhadap pengaruh dari luar.
3.      System social dalam waktu panjang dapat menimbulkan konflik.
4.      Perubahan social tidak selalu terjadi secara gradual.
Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan dasar sebagai berikut:
1.      Perubahan social merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
2.      Konflik merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
3.      Unsur di dalam masyarakat merupaka penyumbang terjadinya disintegrasi dan perubahan social.
4.      Setiap masyarakat di dominasi oleeh orang-orang tertentu.
Perubahan social timbul dari kenyataan akan adanya unsure-unsur yang saling bertentangan di dalam masyarakat. Bentuk pengendalian konflik yang pertama adalah apa yang di sebut konsiliasi. Ini terwujud dengan adanya lembaga tertentu. Lembaga yang di maksud harus memiliki sedikitnya empat hal berikut:
a.       Harus merupakan lambaga yang otonom.
b.      Kendudukan lembaga tersebut harus bersifat monopolistis.
c.       Harus memiliki keputusan yang mengikat kelomppok-kelompok tersebut.
d.      Bersifat demokratis.
Namun demikian, semuanya itu hanya mungkin di selenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan memenuhi tiga macam persyaratan tersebut:
1)      Masing-masing kelompok yang terlibat di dalam konflik harus menyadari akan adanya konflik itu sendiri.
2)      Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan social yang saling bertentanangan itu terorganisir dengan jelas.a
3)      Setip kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi peraturan-peraturan permainan tertentu.
Cara pengendalian yang lain di butuhkan apabila kedua belah pihak tidak menginginkan timbulnya ledakan-ledakan social dapat di tempuh dengan mediasi, konsultasi dan perwasitan. Ketiga pengendalian tersebut memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari ledakan-ledakan social dalam bentuk kekerasan.
II.                Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya  yaitu (1) secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Sedangkan (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda,  merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik
Sebagai suatu masyarakat majemuk, Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Sedangkan dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataan dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial dan dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat.
Dengan mengabaikan perwujudannya yang kongkrit di masa kini, esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang nemiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu terhadap yang lain.
Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
a.       terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
b.      memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
c.       kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
d.      secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
e.       secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
f.       adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Yang pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa di Indonesia.
Tentang berapa jumlah sukubangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda.
Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia, Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar sebagaimana disebut oleh Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar,  yaitu Bali, Batak Toba, dan Sumbawa.
Buku Statistik Hindia Belanda menggambarkan prosentasi sukubangsa di Indonesia pada tahun 1930, sebagai berikut.
  1. Jawa : 47.02 persen
  2. Sunda : 14,53 persen
  3. Madura : 7,28 persen
  4. Minangkabau : 3,36 persen
  5. Bugis : 2,59 persen
  6. Batak : 2,04 persen
  7. Bali : 1,88 persen
  8. Betawi: 1,66 persen
  9. Melayu: 1,61 persen
  10. Banjar : 1,52 persen
  11. Aceh: 1,41 persen
  12. Palembang: 1,30 persen
  13. Sasak: 1,12 persen
  14. Dayak: 1,10 persen
  15. Makasar: 1,09 persen
  16. Toraja: 0,94 persen
  17. lainnya : 9,54 persen.
Walaupun angka tersebut dibuat pada waktu yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka kematian, atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal tersebut masih dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Mengikuti pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh para ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai salah satu sukubangsa di Indonesia, dan berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan berdasarkan perkiraan tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta dengan mengingat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama tahun 1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan disebut pribumi).
Faktor kedua yang menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga  sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dua macam sudut pendekatan yang paling popular diantara pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan tersebut adalah masalah konflik dan integrasi. Tapi disamping itu, perlu diperhatikan pendekatan yakni pendekatan fungsional structural yang memandang masyarakat sebagai suatu system.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya  yaitu:
a.       secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
b.      secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
g.      terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
h.      memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
i.        kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
j.        secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
k.      secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
l.        adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

B.     Saran
Adapun yang menjadi saran kami yaitu agar masyarakat Indonesia yang bersifat pluralitas seharusnya menjadikan perbedaan itu sebagai suatu alat kekuatan persatuan Indonesia. menjadikan kebudayaan sebagai kekayaan yang harus dijaga sehingga Negara lain tidak mengambil kekayaan tersebut. Masyarakat seharusnya diajari dan diberi pengetahuan tentang akan pentingnya keragaman budaya.  Dengan demikian diharapkan adanya masyarakat Indonesia yang majemuk yang memiliki karakter dan budaya yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.





Makalah Hukum Dagang


Tugas Kelompok

PERANSURANSIAN DAN PENGATURANNYA
OLEH:
Kelompok II
NAMA:
1.      Liska Dewiana Nasution                                   3103311032                B
2.      Destaria Ginting                                                 31033110                    A
3.      Fera Damayani Hutasoit                                               31033110                    A
4.      Pimasita Andriana Simangunsong                    3103311044                B
5.      Astika Nanda Naibaho                                       31033110                    B
6.      Petrus H.H Saragi                                               31033110                    A
KELAS                                                          : Ekstensi 2010
MATA KULIAH                                         : Hukum Dagang
JURUSAN                                                    : PP-Kn
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Studi Masyarakat Indonesia ini dengan baik.
Makalah ini diharapkan mampu membantu penulis dalam memperdalam mata kuliah Hukum Dagang dalam kegiatan belajar. Selain itu, makalah ini diharapkan agar dapat menjadi bacaan para pembaca agar menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab karena materi ini disajikan mengarah pada terbentuknya masyarakat Indonesia hukum berdasarkan Pancasila yang berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu,, makalah ini diharapkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap yang kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang selalu berubah.
Penulis berterima kasih kepada orang tua penulis yang memberikan motivasi baik berupa matreiil maupun moriil kepada penulis, tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu yaitu Ibu Sri Hadiningrum dan kepada semua pihak yang sedikit banyaknya telah terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Penulis mengharapkan saran dan kritikan terhadap makalah ini yang bersifat membangun agar makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

                                                                                                Medan,     Maret 2012

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Resiko dimasa datang dapat terjadi terhadap kehidupan sesorang misalnya kematian, sakit atau resiko dipecat dari pekerjaannya. Dalam dunia bisnis resiko yang dihadapi dapat berupa resiko kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan atau resiko lainnya. Oleh karena itu setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
Untuk mengurasngi resiko yang tidak diinginkan dimasa yang akan datnag, seperti resiko kehilangan, resiko kebakaran, resiko macetnya pinjaman kredit bank atau resiko laiinnya, maka diprlukan perusahaan yang mau menanggung rediko tersebut. Adalah perusahaan asuransi yang mau menanggung resiko yang bakal dihadapi nasabahnya baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini disebabkan perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang melakukan usaha pertanggung jawaban terhadap resiko yang akan dihadapi oleh nasabahnya. Oleh karenanya, makalh ini membahas tentang peransuransian berikut pengaturannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana terjadinya suatu perjanjian asuransi?
2.      Bagaimanakah polis sebagai bukti transaksi?
3.      Apa sajakah yang termasuk dalam syarat sah perjanjian asuransi menurut KUHD?

C.    Tujuan Masalah
Adapun yang menjadi tujuan masalah dari makalh ini adalah agar kita mengetahui dan memahami dan bisa kita realisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari yakni bagaimana suatu perjanjian itu terjadi, bagaimana kedudukan polis sebagai bukti transaksi, dan apa saja syarat sah perjanjian asuransi menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
BAB II
PEMBAHASAN
F. Terjadinya Perjanjian Asuransi
Untuk menyatakan kapan perjanjian asuransi yang dibuat oleh tertanggung dan penanggung itu terjadi dan mengikat kedua pihak yaitu:
1.      Teori tawar-menawar dan teori penerimaan
Teori tawar-menawar (bargaining thoery). Menurut teori ini, setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua belah pihak apabila penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak yang lainnya dan sebaliknya. Keunggulan toeri tawar-menawar adalah kepastian hukum yang diciptakan berdasarkan kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak dalam asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Teori penerimaan (acceptance theory). Dalam hukum Belanda, teori ini disebut ontvangst theorie mengenai saat kapan perjanjian asuransi terjadi dan mengikat tertanggung dan penanggung, tidak ada ketentuan umum dalam undang-undang perasuransian, yang ada hanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak (pasal 1320 KUH Perdata). Menurut teori penerimaan, perjanjian asuransi terjadi dan mengikat pihak-pihak pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima oleh tertanggung. Atas nota persetujuan ini kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi oleh penanggung yang disebut polis asuransi.
2.      Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi. Untuk mengatasi kesulitan jika terjadi sesuatu setelah perjanjian namun belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan atau belum ditandatangi atau sudah di tandatangi tetapi belum diserahkan kepada tertanggung kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian tertanggung. Pada pasal 257 KUHD memberi ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan. Sehingga hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan berdasarkan nota persetujuan. Bila bukti tertulis sudah ada barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Ketentuan ini yang dimaksud oleh pasal 258 ayat (1) KUHD.
3.      Pembuktian syarat/janji khusus asuransi
Syarat-syarat khusus yang dimaksud dalam pasal 258 KUHD adalah mengenai esensi inti isi perjanjian yang telah dibuat itu, terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung seperti: penyebab timbul kerugian (evenemen); sifat kerugian yang menjadi beban penanggung; pembayaran premi oleh tertanggung; dan klausula-klausula tertentu.

G. Polis Bukti Asuransi
1.      Fungsi Polis
Sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung, sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban.
2.      Isi Polis
Menurut ketentuan Pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa, harus memuat syarat-syarat khusus yakni 1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi; 2) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga; 3)Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;  4) Jumlah yang diasuransikan; 5) Bahaya-bahaya/evenemen yang ditanggung oleh penanggung; 6) Saat bahaya/evenemen mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung; 7) Premi asuransi; 8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan oleh para pihak; 9) Semua keadaan dan syarat-syarat khusus.
3.      Jenis Polis
Adapun jenis-jenis polis yaitu: 1) Polis maskapai; 2) Polis bursa; 3) Polis lioyds; 4) Polis perjalanan dan; 5) Polis waktu.
4.      Klausula Polis
Yaitu meliputi klausula premier risque, all risks, sudah diketahui (all seen), renunsiasi (renunciatin) dan klausula free particular average (FPA).

5.      Pembuatan dan Penyerahan Polis
Menurut ketentuan Pasal 259 KUHD, apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung, maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung dalam 24 jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan undang-undang ditentukan tenggang waktu yang lebih lama. Berdasarkan ketentuan ini, maka pembuat polis adlah penganggung atas permintaan tertanggung. Penanggung menandatangani polis  tersebut, setelah iyu segera diserahkan kepada tetanggung. Pembenrtukan polis oleh penanggung sesuai denmgan fungsi polis sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung.

H. Asuransi untuk Kepentingan Pihak Ketiga
            Asuransi yang diadakan untuk kepentingan pihak ketiga harus secara tegas dinyatakan dalam polis. Pernyataan tegas tersebut perlu, mengingat akibat hukum yang tercantum dalam Pasal 267 KUHD yang menentukan, apabila dalam polis tidak tidak ditegaskan bahwa asuransi itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung dianggap telah mengadaklab asuransi untuk diri sendiri.

I. Kewajiban dan Pemberitahuan
1. Syarat Sah Asuransi menurut KUHD.
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHpdt. Menurut ketentuan Pasal tersebut, ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal. Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD:
ü  Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi: Benda yang menjadi objek asuransi, Pengalihan risiko dan pembayaran premi., Evenemen dan ganti kerugian, Syarat-syarat khusus asuransi, dan Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang. Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
ü  Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milknya sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan. Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
ü  Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya. Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.
ü  Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
ü  Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausa ”sudah diketahui”.
2. Pemberitahuan Upaya Pencegahan Kerugian
            Selain pasal 251 KUHD, ada lagi pasal-pasal yang mengatur tebntang kewajiban pemberitahuan dari tertanggung, yaitu Pasal 283 KUHD. Namun, pasal ini tidak mengancam dengan kebatalan, tetapai dengan membayar uang kerugian bagi tertanggung yang lalai. Pasal ini dityujukan kepada peristiwa yang mengancam benda asuransi, kemungkinan besar akan terjadi atau sudah mulai terjadi.
            Makna Pasal 283 KUHD ini adalah jika dalam usaha tertanggung ityu mengeluarkan biaya, dia harus memberitahukan kepada penanggung dan penanggung akan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh tertanggung meskipun jumlah kerugian yang ditanggung ditambah dengan biaya yang telah dikeluarkan  itu melebihi jumlah yang diasuransikan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Terjadinya perjanjian asuransi yakni: 1) Teori tawar menawar dan teori penerimaan; 2) Asuransi bersifat tertulis ;  dan 3) Pembuktian syarat/janji khusus asuransi.
2.      Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi.
3.      Klausula polis meliputi klausula premier risque, klausula all risks, klausula sudah diketahui (all seen), klausula renunsiasi (renunciatin) dan klausula free particular average (FPA).
4.      Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam pasal 251 KUHD yaitu: a) Kesepakatan (consensus); b) Kewenangan (authority); c) Objek Tertentu (fixed object);  d) Kausa yang Halal (legal cause); dan e) Pemberitahuan (notification).

B.     Saran
Saran penulis adalah diharapkan dengan adanya perusahaan peransuransian, masyarakat memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Jangan perusahaan tinggal perusahaan tanpa ada yang menggunakan perusahaan tersebut. Saran lain adalah bahwa masyarakat harus mengetahui dan mengerti pengaturan-pengaturan yang berkaitan dengan asuransi supaya tidak menimbulkan kerugian antara kedua belah pihak.







DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Bagian 1, Jakarta: Pradana Paramita.

Kansil, C.S.T, 2001, Hukum Perusahaan Indonesia, Bagian 2, Jakarta: Pradana Paramita.

Muhammad, Abdulkadir, 2002, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Prakoso, DJoko dan I Ketut Murtika, 1987, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sri Redjeki, 1992. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Edisi Pertama, Jakarta: Sinar Grafika.