Tugas Kelompok
Struktur
Masyarakat Indonesia dan Integrasi Nasional
OLEH:
Kelompok
III
NAMA:
1.
Liska Dewiana Nasution 3103311032
2.
Meri Priska Sembiring 3103311036
3.
Rince Situmorang 3103311048
4.
Pimasita Andriana Simangunsong 3103311044
5.
Darlon Situmorang 3103311010
6.
Andi Pranata Bangun 3103311001
KELAS :
B Ekstensi 2010
MATA
KULIAH :
Studi Masyarakat Indonesia
JURUSAN :
PP-Kn
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Studi Masyarakat Indonesia ini dengan
baik.
Makalah ini
diharapkan mampu membantu penulis dalam memperdalam mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia
dalam kegiatan belajar. Selain itu, makalah ini diharapkan agar dapat menjadi
bacaan para pembaca agar menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab
karena materi ini disajikan mengarah pada terbentuknya masyarakat Indonesia yang berbudaya berdasarkan
Pancasila yang berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena
itu,, makalah ini diharapkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap yang kritis
terhadap situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang selalu berubah.
Penulis berterima kasih
kepada orang tua penulis yang memberikan motivasi baik berupa matreiil maupun
moriil kepada penulis, tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Dosen Pengampu yaitu Ibu Sri
Yunita dan kepada semua pihak yang sedikit banyaknya telah terlibat
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari masih
banyak sekali terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Penulis
mengharapkan saran dan kritikan terhadap makalah ini yang bersifat membangun
agar makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Medan, Maret 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah.
Keramahan bangsa tergantung dari bagaimna pola pikir masyarakat yang hidup di
Indonesia. kultur budaya, pola pikir dan
struktur masyarakat membentuk keramahan bangsa Indonesia menjadi keramahan yang
alami.
Indonesia dapat dikatakan sebagai Negara majemuk,
karena secara horizontal terdiri atas berbagai macam agama, suku bangsa dan
bahasa. Sedangkan secara vertikal yaitu perbedaan antara lapisan atas dan
lapisan bawah (stratifikasi sosial).
Struktur
sosial yang ada dalam sebuah tatanan bermasyarakat terdiri dari pengelompokan
sosial, lapisan sosial, perubahan sosial serta pertentangan sosial. Pemahaman
mengenai hal ini dapat membantu dalam memahami sebuah tatanan masyarakat, juga
dalam usaha menyelesaikan problematika yang muncul dalam masyarakat itu.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi perumusan
masalah yang muncul dalam makalah kami ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
pendekatan-pendekatan dalam struktur masyarakat Indonesia?
2. Apakah
tanda atau ciri-ciri struktur masyarakat Indonesia?
3. Apa
saja yang menjadi karakteristik yang selanjutnya sebagai sifat-sifat dasar
suatu masyarakat majemuk?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui, memahami bagaimana pendekatan dalam struktur masyarakat
Indonesia demikian ciri-cirinya serta karakteristik masyarakat majemuk dan
mengimplementasi nilai-nilai, norma-norma yang ada dalam masyarakat.
BAB
II
STRUKTUR
MASYARAKAT INDONESIA DAN INTEGRASI NASIONAL
I.
Pendekatan
Teoritis
Sudut pendakatan yang perlu di perhatikan pertama
kali adalah sebuah pendekatan yang menjadi amat berpengaruh di kalangan para
ahli sosiologi. Ia memandang
masyarakat sebagai system yang secaara fungsional
terintegrasi kedalam suatu bentuk equilibrium. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka dikatakan integration approach, equilibrium approach (pendekatan fungsional
struktural).
Fungsionalisme struktural mula-mula tumbuh
dari cara melihat masyarakat dengan organism biologis atau yang lebih kita kenal dengan sebutan organismic
approach. Pendekatan
fungsional structural sebagaimana yang telah di kembangkan oleh Person dan para
ahli pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka
sebagai berikut:
1.
Masyarakat harus
dilihat sebagai suatu system.
2.
Hubungan yang saling
berhubungan bersifat ganda dan timbale balik.
3.
Secara fundamental
system social selalu cenderung bergerak kearah equilibrium yang bersifat
dinamis.
4.
Integrasi social pada
tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai.
5.
Perubahan di dalam system
social pada umumnya terjadi secara gradual.
6.
Ada tiga dasar
perubahan social, yaitu: Penyesuaian yang dilakukan oleh system social,
pertumbuhan melalui proses difrensiasi structural dan fungsional dan penemuan
baru oleh anggota masyarakat.
7.
Factor penting dalam
mengintegrasi system social adalah kesepakatan diantara para anggota masyarakat
mengenai nilai-nilai masyarakat tertentu.
Dengan cara lain dapat dikatakan bahwa suatub system
social, tidak lain adalah merupakan suatu system berupa tindakan-tindakan. Ia
terbentuk dari interaksi social yang terjadi diantara berbagai individu.
Prosesnya adalah sebagai berikut : oleh karena setiap orang menganut dan
mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai situasi-situasi tertentu.
Maka tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa kedalam bentuk
struktur social tertentu.
Anggapan bahwa setiap system social memiliki
kecenderungan untuk mencapai stabilitas. Mengakibatkan para penganut
fungsioalisme structural mengangap bahwa penyimpangan-penyimpangan social
meengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat. Anggapan semacam itu
mengakibatkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut:
1.
Setiap struktur social
mengandung konflik-konflik.
2.
Reaksi terhadap suaatu
system social terhadap pengaruh dari luar.
3.
System social dalam
waktu panjang dapat menimbulkan konflik.
4.
Perubahan social tidak
selalu terjadi secara gradual.
Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan dasar
sebagai berikut:
1.
Perubahan social
merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
2.
Konflik merupakan
gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
3.
Unsur di dalam
masyarakat merupaka penyumbang terjadinya disintegrasi dan perubahan social.
4.
Setiap masyarakat di
dominasi oleeh orang-orang tertentu.
Perubahan social timbul dari kenyataan akan adanya
unsure-unsur yang saling bertentangan di dalam masyarakat. Bentuk pengendalian
konflik yang pertama adalah apa yang di sebut konsiliasi. Ini terwujud dengan
adanya lembaga tertentu. Lembaga yang di maksud harus memiliki sedikitnya empat
hal berikut:
a.
Harus merupakan lambaga
yang otonom.
b.
Kendudukan lembaga
tersebut harus bersifat monopolistis.
c.
Harus memiliki
keputusan yang mengikat kelomppok-kelompok tersebut.
d.
Bersifat demokratis.
Namun demikian, semuanya itu hanya mungkin di
selenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan memenuhi tiga
macam persyaratan tersebut:
1)
Masing-masing kelompok
yang terlibat di dalam konflik harus menyadari akan adanya konflik itu sendiri.
2)
Pengendalian
konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan
social yang saling bertentanangan itu terorganisir dengan jelas.a
3)
Setip kelompok yang
terlibat di dalam konflik harus mematuhi peraturan-peraturan permainan
tertentu.
Cara pengendalian yang lain di butuhkan apabila
kedua belah pihak tidak menginginkan timbulnya ledakan-ledakan social dapat di tempuh
dengan mediasi, konsultasi dan perwasitan. Ketiga pengendalian tersebut
memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari ledakan-ledakan social
dalam bentuk kekerasan.
II.
Struktur Majemuk Masyarakat Indonesia
Struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh dua cirinya yaitu (1)
secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Sedangkan (2) secara vertikal, struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa,
agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh
Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda.
Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu
kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall
tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda, merupakan suatu
masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri
atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam kesatuan politik
Sebagai suatu masyarakat majemuk,
Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat tropis di
mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Di dalam kehidupan politik, pertanda
paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak
adanya kehendak bersama (common will). Sedangkan dalam kehidupan ekonomi,
tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataan dalam bentuk tidak
adanya permintaan sosial dan dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat.
Dengan mengabaikan perwujudannya
yang kongkrit di masa kini, esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat
majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa
sehingga para anggota masyarakat kurang nemiliki loyalitas terhadap masyarakat
sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, bahkan kurang
memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu terhadap yang lain.
Pierre L. van den Berghe menyebutkan
beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
a. terjadinya segmentasi ke dalam
kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama
lain,
b. memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
c. kurang mampu mengembangkan konsensus
di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
d. secara relatif sering kali mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
e. secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang
ekonomi, serta
f. adanya dominasi politik oleh suatu
kelompok atas kelompok yang lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Yang
pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang lebih
tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil
dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa di
Indonesia.
Tentang berapa jumlah sukubangsa
yang sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang
tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz misalnya
menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di Indonesia,
masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda.
Skinner menyebutkan adanya lebih
dari 35 sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak
sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia, Skinner
menggambarkan juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut.
Beberapa sukubangsa yang paling besar sebagaimana disebut oleh Skinner adalah
Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa
yang lain yang cukup besar, yaitu Bali, Batak Toba, dan Sumbawa.
Buku Statistik Hindia Belanda
menggambarkan prosentasi sukubangsa di Indonesia pada tahun 1930, sebagai
berikut.
- Jawa
: 47.02 persen
- Sunda
: 14,53 persen
- Madura
: 7,28 persen
- Minangkabau
: 3,36 persen
- Bugis
: 2,59 persen
- Batak
: 2,04 persen
- Bali
: 1,88 persen
- Betawi:
1,66 persen
- Melayu:
1,61 persen
- Banjar
: 1,52 persen
- Aceh:
1,41 persen
- Palembang:
1,30 persen
- Sasak:
1,12 persen
- Dayak:
1,10 persen
- Makasar:
1,09 persen
- Toraja:
0,94 persen
- lainnya
: 9,54 persen.
Walaupun angka tersebut dibuat pada
waktu yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka kematian,
atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal tersebut masih dapat digunakan
untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Mengikuti pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh para
ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai salah
satu sukubangsa di Indonesia, dan berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan
berdasarkan perkiraan tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta
dengan mengingat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama
tahun 1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di
Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi
waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat
kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka
yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi
hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan
disebut pribumi).
Faktor kedua yang menyebabkan pluralitas
masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara
Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia
menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga sangat mempengaruhi terciptanya
pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia.
Telah sejak lama masyarakat
Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para
pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia
adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih empat ratus tahun
sebelum masehi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dua macam sudut pendekatan yang
paling popular diantara pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan tersebut
adalah masalah konflik dan integrasi. Tapi disamping itu, perlu diperhatikan
pendekatan yakni pendekatan fungsional structural yang memandang masyarakat
sebagai suatu system.
Struktur masyarakat Indonesia
ditandai oleh dua cirinya yaitu:
a. secara horizontal, ia ditandai oleh
kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan
sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
b. secara vertikal, struktur masyarakat
Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan
bawah yang cukup tajam.
Pierre L. van den Berghe menyebutkan
beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
g. terjadinya segmentasi ke dalam
kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama
lain,
h. memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer,
i.
kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para
anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar,
j.
secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain,
k. secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang
ekonomi, serta
l.
adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok
yang lain.
B.
Saran
Adapun yang
menjadi saran kami yaitu agar masyarakat Indonesia yang bersifat pluralitas
seharusnya menjadikan perbedaan itu sebagai suatu alat kekuatan persatuan
Indonesia. menjadikan kebudayaan sebagai kekayaan yang harus dijaga sehingga
Negara lain tidak mengambil kekayaan tersebut. Masyarakat seharusnya diajari
dan diberi pengetahuan tentang akan pentingnya keragaman budaya. Dengan demikian diharapkan adanya masyarakat
Indonesia yang majemuk yang memiliki karakter dan budaya yang baik dan sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.